Saya selalu merasa ada yang hilang setiap melakukan perjalanan tanpa bacaan dan alat tulis. Entahlah, akan selalu ada moment krik krik disetiap perjalanan, baik itu diatas pesawat, dibangku bus, di kereta api. Moment itu sering saya gunakan untuk menulis dan membaca. Sesekali jika memungkinkan, sambil mendengarkan music.
Dimudik Ramadhan kemarin, saya membeli buku “The Fault in Our Star” untuk menemani perjalanan Jakarta – Bandung yang saya kira akan macet. Kemudian, buku tersebut telah saya selesaikan sebelum saya mudik Bandung – Garut, sehingga saya merasa perlu untuk membeli buku (lagi).
Pilihan saya jatuh pada buku ‘Sabtu Bersama Bapak’. Sebuah buku karangan Adhitya Mulya, yang sebelumnya nge-hits dengan karyanya ‘Jomblo’ yang saya baca ketika duduk di bangku putih biru.
Buku ini bercerita tentang keluarga kecil. Sepasang orang tua yang dikaruniai 2 anak laki-laki. Adalah Gunawan Garnida, seorang ayah berusia 38 tahun yang memiliki seorang istri bernama Itje dan 2 anak lakilakinya yang bernama; Satya & Cakra.
Pak Gunawan di vonis penyakit kanker yang membuat waktunya tinggal setahun lagi disaat anak anaknya masih kecil. Tak ingin anak anaknya merasa kehilangan sosok ayahnya, Ia membuat rekaman video video yang isinya petuah petuah kehidupan, diputarkan setiap hari Sabtu oleh Ibunya. Sehingga Satya & Cakra selalu menanti hari Sabtu, karena itulah hari dimana mereka ‘belajar’ dari ayahnya. Mereka menyebutnya, Sabtu bersama Bapak 🙂
Anak sulung mereka, Satya sudah menikah, memiliki 3 anak kecil. Tinggal jauh dari Indonesia bersama anak Istrinya. Satya diceritakan diawal memiliki sifat pemarah yang membuat istri dan anaknya ketakutan setiap ia pulang kerumah.
Sementara anak kedua mereka, Cakra, sudah menginjaki umur kepala 3 tapi belum menikah. Membuat ibunya, Itje, ikut galau memikirkan nasib anaknya. Padahal Cakra sudah sukses dalam karir dan mapan dalam kehidupan.
“Ka, istri yang baik ga akan keberatan diajak melarat”
“Iya, sih. Tapi Mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat. Mamah tahu itu. Bapak juga gitu, dulu”
Salah satu pesan dalam video sang Bapak yang diingat oleh Cakra sehingga ia memilih untuk sukses dalam karir dan mapan dalam kehidupan sebelum meminang perempuan;
“Kewajiban suami adalah siap lahir dan batin. Ketika Bapak menikah tanpa persiapan lahir yang matang, itu artinya bapak juga belum matang. Bapak belum siap mentalnya. Karena Bapak gak cukup dewasa untuk mikir apa arti dari ‘siap melindungi’.
Jika batin Bapak ‘siap melindungi’, maka wujud kesiapannya adalah, punya atap yang dapat melindungi ibu kamu dari panas, hujan, dan bahaya. Ga perlu megah. Ga perlu kaya. Ngontrak pun jadi. Yang jelas, ada atap untuk melindunginya dan Bapak bayar dari kantong sendiri. Itu, wujud dari melindungi.
Jika batin Bapak ‘siap menafkahi, maka wujudnya adalah punya penghasilan yang mencukupkan istri dengan wajar. Ga perlu mewah. Ga perlu memanjakan, tapi cukup dan wajar. Itu, wujud dari siap batin.”
Sementara satya, belajar untuk legowo meminta maaf kepada istri dan anaknya. Mendiang Bapak telah mengajarkan pada anak anaknya bahwa meminta maaf ketika salah adalah wujud dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri bahwa dia salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud dari penghargaan dia kepada orang yang dimintakan maaf. Tidak meminta maaf membuat seseorang terlihat bodoh dan arogan.
Tidak hanya Satya dan Cakra yang mengambil banyak pelajaran dari setiap video yang dibuat oleh Ayahnya, Istrinya, Itje pun demikian. Sebelum meninggal, suaminya telah menyiapkan aset untuk ia berkembang sehingga tak merepotkan anak anaknya kelak. Ibu itje sukses dengan bisnis restorannya yang sudah berkembang dengan adanya 6 cabang di Jawa barat. Dalam salah satu videonya, suaminya pernah bilang;
“Zaman orang tua kita, negara ini masih membangun. Yang namanya pekerjaan itu, masih mencari orang. Bapak bapak kita lulusan SD Saja bisa nafkahi orang sekampung. Zaman kita, adalah zaman orang mencari pekerjaan. Kepala sarjana tidak terlalu mahal lagi. Kita berdua masih bisa mandiri. Zaman anak kita, ga kebayang seperti apa sulitnya persaingan mereka. Pastinya orang cari pekerjaan..
Setelah mereka mandiri nanti, belum tentu mereka bisa menolong diri mereka apalagi menolong kamu. Makanya, saya siapkan untuk kamu juga..
Waktu dulu kita jadi anak, kita ga nyusahin orang tua. Nanti kita sudah tua, kita ga nyusahin anak..”
Sepenggal kalimat “..kita ga nyusahin anak” inilah yang juga ngebuat Itje untuk menyembunyikan perihal penyakit kanker payudara-nya di hadapan 2 anaknya. Ia tak ingin menyusahkan kedua anaknya.
Buku ini bercerita tentang bagaimana sepasang suami istri mendidik anak anaknya. Bagaimana kasih sayang orang tua pada anak anaknya. Bagaimana saudara saling menjaga dan mengasihi. Bagaimana seorang suami menjadi kepala keluarga. Bagaimana seorang istri menempatkan posisinya pada keluarga. Bagaimana proses pencarian jodoh.
In the end, Cakra menemukan jodohnya. Diwaktu mereka menghabiskan waktu bersama, ada percakapan seperti ini;
“Mas, nanya dong.”
“Apa, tuh?”
“Mas pernah bilang, bagi Mas, saya itu perhiasan dunia akhirat. Kenapa bisa bilang begitu?”
“Kamu cantik. Itu jelas. Dan karena pada waktunya, saya selalu lihat sepatu kamu di Mushola Perempuan”
“…”
Saya jadi teringat, ayah ibu saya berasal dari dua kepribadian yang berbeda. Papa seorang yang taat agama, rajin ke mesjid, jago mengaji. Sementara ibu saya, perempuan yang tumbuh di pusat kota Bandung. Gaul. Suka pake baju seksi seksi gitu. Ibu saya bukan akhwat akhwat berjilbab lebar gitu. Suatu hari saya juga pernah bertanya pada papa;
“Papa kenapa milih mama? Mama kan dulu seksi.”
“Karena pas papa main kerumahnya, setiap terdengar suara adzan, mama minta izin untuk Sholat.”
Mungkin yang papa rasain pertama kali ketemu mama sama dengan apa yang dirasa oleh Cakra ketika bertemu jodohnya. 🙂 Perempuan itu, (seharusnya) jadi perhiasan Dunia Akhirat.
Buku ini buku yang ketika saya selesai membaca, saya menarik napas panjang dan bergumam, “ini buku bagus banget!”
Untuk orang tua, untuk calon ayah dan calon ibu, untuk seorang anak, untuk yang lagi mencari jodoh. Buku ini highly recomended!
Judul : Sabtu Bersama Bapak
Penulis : Adhitya Mulya
Penerbit : GagasMedia
Tahun terbit : Juni 2014
Cetakan : Pertama
Tebal : 278 hlm
ISBN : 979-780-721-5
Reviewnya bagus! Aku belum baca bukunya dan baru baca review kamu ini udah merinding disko ngebayangin cerita di dalam buku itu. Thanks for sharing, Isni. Kayanya aku harus langsung cus baca langsung bukunya 🙂
Hihihihi. Tengkies kak Liaa.
Iya, segera di baca. Jangan lupa juga dipinjemin ke abang Sornong. Biar di aplikasikan bareng bareng 🙂
Sukseskan proses menuju D-Day ya, kaaakk 🙂
Iya, bisa jadi hadiah pas hari H nih :p
Hihihi makasih Isniiii 🙂
besok gantian teteh yg bikin buku deh,siapa tau best sellerrrrrrrrr
Iya, Aamiin 🙂
mbak aku juga beli buku ini. Abis baca trus ngebayangin kalo aku jadi istrinya Satya. Sempurna pisan euy: IRT, gape urus anak, pinter bantu keuangan suami dari main saham, bodynya sekseh berkat workout di rumah sendiri after operasi usus buntunya….halah malah ngelantur yak aku
Mengkhayal itu emang menyenangkan yak 😄