Saya bangga pernah menghabiskan masa kecil di ujung pulau Indonesia. Lhokseumawe, Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Ayah saya ditempatkan disana oleh kantornya, yang membuat kami sekeluarga pun ikut serta. 7 tahun kami menghabiskan waktu di kota kecil itu, sampai akhirnya Ibu meminta ayah pindah, karena pada saat itu situasi mulai tidak aman terkait banyaknya oknum GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Kami pindah ke Batam, Kepulauan Riau pada pertengahan tahun 2001, 3 tahun kemudian, pada tahun 2004, terjadi bencana besar di Aceh. Tsunami. Bencana alam yang mengakibatkan 230 ribu manusia kehilangan nyawa. Keluarga saya tentu saja bersyukur, bahwa kami merasa ‘diselamatkan’ dari bencana itu. Namun, masih banyak teman teman/tetangga kami yang terjebak disana. Salah satunya, tetangga dekat kami ketika di Lhokseumawe. Pada saat kejadian, mereka sekeluarga sudah berdomisili di Banda Aceh, tempat dimana Tsunami terjadi. Bayangkan paniknya kami ketika itu, semua nomor posko yang tertera dilayar televisi kami hubungi, tak sekalipun kami berkesempatan berbicara, karena nomor itu selalu sibuk. Ayah saya tak kehabisan akal, beliau mengubek ngubek semua buku agendanya, mencari nomor lain yang bisa dihubungi, ketemulah nomor orangtua dari tetangga kami tsb yang berdomisili di Medan.
Ayah saya berhasil berbicara pada keluarga besarnya di Medan, Alhamdulillah, tetangga kami selamat. Dan sedang dalam perjalanan ke Medan. Jadi, PT Telkom (tempat Ayah saya dan tetangga kami ini bekerja) ketika Tsunami menyediakan satu buah helikopter yang dapat digunakan untuk mengevakuasi keluarga karyawan ke Medan. Namun, karena ada beberapa sanak saudara di Banda Aceh, tetangga kami ini memilih untuk menolak menggunakan fasilitas kantor ini. Ia memilih untuk bersama sama saudara nya ke Medan melalui jalan darat. 🙂 Adapun cerita ketika kejadian, tetangga ini berhasil menyelamatkan keluarga dan tetangganya dengan menaiki mobil dan berjalan ke arah yang lebih tinggi. Terhitung ketika turun, jumlah orang yang didalam mobilnya mencapai 25 orang, dan mereka sama sekali tidak merasakan kesempitan. Allahu Akbar!
Lain cerita dengan ayah saya, beberapa bulan sebelum terjadi Tsunami, kakak saya mengikuti Jambore Nasional Pramuka, dimana tendanya bersebelahan dengan tenda dari rombongan Aceh. Mereka sempat saling bertukar nomor handphone dan cinderamata. Selang berapa hari sebelum kejadian, teman kakak saya yang berasal dari Aceh ini, sempet memberi kabar bahwa ia sedang mengantarkan Ibunya yang akan menunaikan Ibadah Haji. Setelah tsunami terjadi, nomornya sudah lagi tidak bisa dihubungi. Sementara cinderamata yang pernah ia berikan, tetiba hilang tak kelihatan mata dirumah 😦
Sebelum meninggalkan kota Lhokseumawe ketika itu, saya berjanji suatu hari nanti akan balik lagi ke kota itu. Menyusuri jejak jejak masa kecil saya. Setelah kejadian Tsunami, saya ingin suatu hari nanti, diberi kesempatan untuk menginjaki kota itu.
Dan Allah mengabulkannya di Ramadhan 2015.
Saya mendapatkan tiket murah ke Medan pulang pergi. Niat hati ingin menginap di Brastagi. Namun, karena sedang terjadi erupsi Gn Sinabung, rencana ini harus segera dirubah. Dan saya memilih untuk ke..
Banda Aceh.
Bersama Febby, saya siap menempuh perjalanan selama 12 jam. Medan – Banda Aceh. Menggunakan armada Sempati Star. Malam itu, kami ditawari kelas super VIP, dengan posisi duduk 2-1, dengan fasilitas snack, makan sahur, bantal tidur, selimut tebal dan kamar mandi didalamnya. Tarifnya Rp. 270,000,- dan mendadak diskon Rp. 20,000,-
Rasanya nyaman sekali, saya merelakan jam sahur saya untuk tidur saking enak dan tidak kerasanya sedang didalam bus. Selama pulang pergi, bus ini selalu berhenti di mesjid besar untuk menunaikan ibadah sholat shubuh. 🙂
Lantas, kemana sajakah kami ketika di Banda Aceh? Simak di postingan setelah ini, ya!
Saya menunggu postingan kamu selanjutnya. Btw, saya tiba-tiba merinding ketika membaca cendra mata dari teman abangmu tetiba menghilang 🙂
:’)
Sedang ditulis, yaaa 😀
Isnia, ternyata papa kamu pernah sekantor sama mamaku di Telkom Pelita lho 🙂
Waaah, iyakah kak?
Seru yaa. Kita anak anak Telkom suka mengambil alih jatah-an seragam bapak bapak kitaaa 😀
Hahaha iyaaa.. Circle teh gak jauh-jauh ya, Isni. Aku pikir Rizka doang yang anak Telkom dari angkatan kamu, lah ternyata kamu jugaaa 😀
25 orang bisa masuk mobil semuanya? wah! :O
Iya, mas. Allahu Akbar.
Pingback: Traveling Ketika Bulan Ramadhan? Why Not? | alaniadita