Jeda.

Whoaaaaah!

Whoaaaaah!

“Nia, saya itu penasaran, bagaimana pola didikan kedua orangtuamu sehingga bisa menghasilkan anak seperti kamu. Yang ceria, yang banyak senyum, yang suka ini itu” Ujar HRD dikantor tempat pertama kali saya bekerja suatu hari.

Pada saat itu saya adalah anak remaja tanggung yang pecicilan. Karena saya sudah bekerja diusia 19 tahun, saya yang paling doyan cengengesan kalo dikasih tugas. Semua orang saya sapa ceria layaknya saya meyapa teman teman saya dikampus. Meski pada usia itu saya sudah dikenalkan di meeting-meeting besar di Ibukota, tak lantas membuat saya terlihat dewasa. Seringkali, saya disuruh berhenti bekerja, masih anak-anak, begitu kata mereka.

Time flies very fast, engga kerasa, tiba tiba sudah 4 tahun saja saya bekerja di Jakarta. Banyak yang berubah? Banget! Saya inget, niat awal saya pindah ke Jakarta. Mau jalan-jalan. Saya jadi full time traveller dan part time employee. Diotak saya cuma ada jalan kemana minggu ini. Ga peduli nyampe Jakarta, senin shubuh yang langsung saya geber untuk bekerja. Yang penting saya bahagia. Yes, i’m happy at the time.

2 tahun belakangan, pelan pelan mulai berubah. Saya tidak lagi se-menggebu itu untuk jalan-jalan. Saya merasa badan saya mulai pegal-pegal, jika kelamaan duduk di bus. Cepat lelah jika nyampe kosan senin shubuh. Buat saya jadi cari tempat jalan-jalan yang bisa ditempuh dengan pesawat.

Setahun belakangan, semakin menjadi. Pekerjaan dikantor bukan lagi hal yang bisa dinomorduakan. Saya mulai merasa, saya harus serius berkarir. Saya mulai challenge diri sendiri dengan jobdesk yang diberikan oleh atasan saya. Lembur tanpa ampun jadi makanan sehari-hari, engga sampe tengah malem sih. Tapi setiap hari. Untuk menghibur diri, saya sempat sesekali keluar kota, seperti awal awal dulu. Tapi rasanya tak lagi sama seperti dulu. Tubuh saya remuk. byar!

Belum lagi, saya punya target-target dalam keuangan. Saya punya mimpi lain untuk secara berkelanjutan mengajar di Kelas Inspirasi. Saya ingin ‘anak saya’, one day fun doing fun, berjalan berkesinambungan. Semuanya muter di otak saya. Saya ingin begini, ingin begitu, harus ini, harus itu.

Tanpa saya sadari, ritme hidup saya ‘mengerikan’. Lembur on the weekday, dan nyaris ga punya me time on the weekend. Dan oh, itu menganggu psikologis saya.

Beberapa bulan belakangan ini, saya benar benar seperti dikejar waktu. Kerja lembur, kemudian jumat malem harus briefing Kelas Inspirasi di Semarang. Kemudian, minggu depannya kembali lagi untuk mengajar. Belum sempet nulis untuk ceritanya, saya sudah standby di Kelas Inspirasi kota lain lagi. Disela-sela itu, saya masih suka ‘loncat sana loncat sini’ keluar kota, Entah hanya untuk wisata atau mengurusi One Day Fun Doing Fun. Dalihnya jalan-jalan untuk bahan tulisan. Boro-boro, saya nyaris tak punya waktu untuk menulis 😦  (–sampai tulisan ini ditulis, kegiatan One Day Fun Doing Fun Batch 3 yang diadakan di Bandung bulan Agustus kemarin, belum ketulis :()

Sempet beberapa kali orang-orang disekitar saya complain, entahlah saya yang jadi gampang emosi, entahlah saya yang sulit sekali dihubungi dan ditemui. Saya jadi temperamen. Mudah tersulut emosi, sensitif.

Puncaknya ketika hasil medical check up saya tiba minggu lalu, saya yang tadinya merasa tidak apa-apa ini, ternyata kenapa-kenapa. Berat badan saya turun 11 kg dalam satu tahun. Kolesterol dalam batas tinggi. Serta, LED (Laju endap darah) yang nilainya 2x batas normal. Saya terserang Anemia Mikrositik Hipokrom, entahlah saya ga tau ini apa. Yang jelas, saya kekurangan darah, saya kurang olahraga, kurang makan sayur, kurang asupan buah, dan kurang kasih sayang.

Akhirnya, seminggu ini saya berusaha untuk pulang tidak terlalu malam. Mulai lagi menjalin silaturahmi dengan mengunjungi ibu kos yang sedang dirawat rumah sakit. Hari ini, saya kembali ke Pasar. Saya sampai lupa kapan terakhir kali saya belanja sayur. Saya beli beberapa sayur untuk saya masak sendiri. Kemudian, saya kembali ke Dapur. Saya menikmati setiap bulir busa sabun disaat saya mencuci. Tangan saya yang tersisa harum bawang. Saya merasakan, saya seperti menemukan kembali ‘rasa’ yang pernah hilang. Indera tubuh saya menyuarakan itu dengan saya terima dengan senang.

Selesai memasak dan memakannya, saya bebersih dan beberes kamar. Saya meregangkan badan dikasur dengan rasa senang luar biasa. Saya lanjutkan dengan nonton film ‘Jobs’. Film ini momennya pas banget dengan perasaan saya. Bahwa hidup itu harus seimbang. Life Balance. Disaat Steve Jobs, menggebu untuk semua proyeknya, ia menanggalkan keluarga dan teman-temannya, yang ternyata itu malah menjadi penghalang projeknya. Disaat dia mulai eling, dia kembali ke keluarganya, kembali ke teman-temannya, disitulah projeknya kembali mencuat. Diakui dan dikagumi banyak orang.

Seperti ia, saya hanya perlu Jeda. Perlu sehari saja, menikmati hari dengan diri sendiri. Memancing kembali segala Indera ditubuh saya. Mengoreksi diri. Tidur yang cukup. Dan menikmati menit demi menit dengan tidak tergeropoh-ropoh dan rasa yang dikejar-kejar. 🙂

Anggaplah sebuah gunung aku memilih mendaki gunung tersebut secara perlahan. Menikmati pepohonan, bunga dan udaranya. Berhenti, walau bukan dititik tertinggi, tapi aku tetap bisa menikmati keindahan

Masih ada esok, yang akan saya gunakan untuk refleksi. Sebelum saya kembali ke Payroll Period yang biasanya akan pulang lebih malam dan persiapan saya di One Day Fun Doing Fun Batch 4. Bismillah. :’)

4 thoughts on “Jeda.

  1. Vivi Zulfiana

    setuju, banyak istirahat ya Nia 🙂
    cepat sehat lagi, life balance cyin!
    tetap semangat menulis, muehehe 😀

    i’m already stay in here to see your new posting.
    salam blogger. ha ha ha 😀

    Reply

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s