Titik 0 Indonesia, Jakarta.

20140412_110443-a

Patung Selamat Datang, Selamat Datang Jakarta

“Sini kerja di Jakarta, Is. Digaji 5 juta, deh” Ujar salah satu teman kuliah yang sudah terlebih dahulu kerja di Jakarta.

“Engga, ah! Jakarta panas” Jawab saya.

“Yee. Mau sukses kok takut panas.” Ujarnya lagi.

Setahun kemudian, saya pindah kerja ke Jakarta. Terkadang manusia terbiasa menjilat ludahnya sendiri. 😐 dan manusia itu, salah satunya, saya.

Kenapa saya ingin berdomisili di Jakarta?

Simple saja, saya memiliki mimpi untuk menjelajah Indonesia. Untuk itu, akan mudah jika perjalanan dimulai dari Jakarta. Dari Batam, saya harus mengandalkan moda transportasi pesawat terbang, sementara dari Jakarta, saya bisa mengandalkan bus sampe ke pulau sumatera.

Saya memberanikan diri untuk melancong ke Jakarta seorang diri. Yap, seorang diri. Luntang lantung kaya anak ayam kehilangan induk di Ibukota. Saya memberanikan diri untuk mengambil kerjaan sebagai implementator, pekerjaan yang selalu saya hindari sedari saya menjadi sarjana. Menuju Jakarta, saya berkali kali menjilat ludah sendiri.

Kost-an pertama saya di Jakarta, tepat diseberang Mall besar milik Jakarta Selatan, Gandaria City. Rp. 600,000,- sebulan. kamar kecil berukuran 2m x 2m. Berpintu dan berdinding triplek. Kamar mandi diluar. Beralaskan karpet. (ya, menurut ibu kost, itu kasur. Menurut mata saya, itu hanya karpet). Berjendela kecil, selayaknya jendela kamar mandi. Sederhana sekali. Lingkungan sekitarnya, rapat rapat. Padat penduduk.

Saya ingat benar, hari pertama kali saya kerja di Jakarta. Saya bersemangat sekali pergi ke kantor yang ditempuh dengan jalan kaki dari kostan saya. Saya terkampung kampung ketika melihat kereta api melintas menemani perjalanan saya ke kantor. Saya meyakini diri, bahwa saya siap menjadi bagian dari Jakarta.

Bulan berikutnya, saya pindah kostan. Ke tempat yang jauh lebih layak. Dengan Rp. 700,000,- saya mendapatkan sebuah kamar 2 x 3 m. Kamar Mandi didalam. Kasur, lemari dan Kipas Angin. Parkiran Motor. Dekat dengan warung jajan, penjual pulsa dan londri-an. #penting Meski untuk ini, saya harus jalan kaki lebih jauh. 20 menit. Dengan tarif kost-an yang menghabisi 1/4 gaji bulanan saya. Selamat datang, di Jakarta.

Adalah Jehan, teman dekat saya ketika kuliah menyusul saya kerja di Jakarta. Akhirnya, saya tak lagi luntang lantung sendirian. Saya punya teman. Klien saya, yang kebetulan kantornya sebelahan dengan kantor Jen, ngebuat kita sering nyempet-nyempetin makan malem bareng. Cerita cerita. Saling mengutarakan mimpi. Ya, mimpi yang membawa kami ada di Jakarta.

Jakarta, dimana hari hari orang orangnya berpacu dengan waktu. Pukul 8 pagi, orang orang uda menatap leptopnya masing masing. Pukul 1 siang, semua kursi sudah terisi, dan masing masing kembali sibuk dengan pekerjaannya. Pukul 5 sore, di Jam pulang, semua orang masih berdiam di tempat duduknya masing masing. Errr.. Ya,  di Jakarta semua orang, gila kerja. Selamat datang, di Jakarta.

“Bu, saat ini saya sedang ada di Solo. Saya akan melanjutkan perjalanan ke Semarang esok hari. Saya baru bisa kembali ke Kantor selasa.” Izin saya suatu hari pada atasan.

dan dibales, “Akan ada meeting hari Senin. Kamu harus turut serta. Segera kembali ke Jakarta.”

Oke, di Ignore. Sorenya saya grasa grusu nyari moda transportasi untuk segera pulang ke Jakarta. Karena mendadak, saya kehabisan segala macam tiket. Saya memutuskan untuk kembali ke Jakarta via Bandung. Yes, Selamat datang di Jakarta. Mau izin sehari aja susah. 😦

Sampai pada suatu hari, saya terjebak macet di sekitaran gedung MPR dibilangan Senayan, saat itu pukul 12 siang. Matahari tepat diatas kepala. Saya berdiri didalam bus tak ber-AC menuju Slipi. Saya kehausan. Saya mulai pusing. Saya muak dengan mobil yang pelan sekali berjalannya, kemudian seorang pengamen menyanyi persis disebelah badan saya, “Siapa suruh datang Jakarta. Siapa suruh datang Jakarta.” Saya serasa ingin pura pura mati saja. Selamat datang di Jakarta, Nia.

Dilain hari, saya berbaik hati mengantarkan leptop untuk dipinjem Jen selama saya main ke Bandung. Saya naik busway. 3 jam aja masa Kebayoran – Slipi. Yes, i’m crying at the time. Hujan, Jumat, After Office Hour, lewat Jakarta Barat. Oke, Selamat datang di Jakarta.

Jakarta banjir. Bundaran HI terendam. Gedung UOB memakan korban. Saya beserta beberapa teman berinisiatif ke camp pengungsian, membawa segala macam bala bantuan. Turun dari bus. Dompet saya lenyap. Jakarta ajaib. Padahal saya rame rame. Padahal tas saya didepan badan. Padahal saya diapit temen temen saya. Selamat datang di Jakarta.

Menuju tahun kedua saya di Jakarta. Saya mendapatkan pekerjaan yang sesuai passion saya dulu, Human Resource. Sayangnya, kantornya dibilangan Jakarta Barat. Setiap hari saya berjuang naik kopaja untuk menerjang Jakarta Selatan – Jakarta Barat. Rasanya? Seringkali saya turun dari Kopaja dalam keadaan kucel kumel dan sudah tidak bersemangat untuk kerja. Selamat datang di Jakarta.

Ah, kalau saja ketika bercakap nanti saya bicara, ‘Ga ngerasain hidup di Jakarta, sih’ Tolong dimaklumi ya. Jakarta emang sekeras itu kehidupannya.

Di ke-apes-an hidup di Jakarta, Jakarta punya sisi lain yang ga dimiliki oleh Bandung. Tempat dimana saya dulu bekerja sebelum hijrah.

Saya ikut rombongan trip, yang karena trip itu saya jadi punya temen traveling untuk menjelajah tempat tempat di Indonesia. Saya mulai jago berburu tiket promo pesawat, saya dapet tiket harga 10 ribu untuk pp ke Makassar. tiket 100 ribu pp ke Padang, Bali dan Batam. Saya bisa mengunjungi belitung dengan tiket pp 350 ribuan. Saya mendaki semeru dengan tiket pp 200 ribuan. Saya bisa ke Bandung dengan 17 ribuan pake Kereta Api.

Di Jakarta, saya dapet kios buku langganan yang buku bukunya dibandrol dengan harga 20 ribuan. Buku asli. Jatah-an penerbit untuk kios ini. Adapula pusat jualan baju Tanah Abang, yang baju bajunya dibandrol dengan murah meriah.

Di Jakarta, event event kece banyak banget. Dari yang gratisan sampai berbayar. Saya pernah dapet doorprize handphone disalah satu acara media social. Saya pernah diundang oleh Marshanda untuk syukuran managementnya. Saya beberapa kali bersama Jen, duduk manis menjadi penonton langsung acara Stand-Up Comedy. Banyak pula seminar seminar oke yang tak berbayar tapi kita bisa pulang nenteng goodie bag lucu lucu.

Pintar memilah following di Twitter. Saya pernah diundang diacara launching Buku, ikut heboh konser Kahitna, Nobar Idol bareng Hivi! Semua Informasinya dari twitter dan serba gratis. 🙂

Tahun ini, genap 2 tahun saya di Jakarta. Gimana rasanya? Saya betah banget di Ibukota. Tuh, pake Banget. 😀

Saya mengendarai motor sekarang. Perjalanan ke kantor jadi lebih mudah. Meski, kalian harus percaya satu hal. Motor yang saya kira hanya kotor, dan pas dicuci ternyata adalah baret. Yap! Bawa motor di Jakarta itu, kalo engga di senggol ya kita nyenggol. 😦 Kalo engga, saya yang ngomong, “Maaf ya, Mas.” ada seseorang yang ngomong, “Maaf ya, Mbak”. Coba perhatikan setiap lampu merah di Jakarta, motor selalu berada didepan zebra cross. Pun saya akan berada dibarisan terdepan 😀 ketika lampu kuning, ngeeeengg.. sudah pada ngegas. Saya juga jadi ikut ikutan. Trus, Jangan aneh kalo banyak sekali motor lawan arah. Abis nya, puteran jalan di Jakarta itu jauh banget. Bisa bisa beda wilayah. Contoh kasus, saya dari Gandaria (which is Jakarta Selatan) mau ke Karet, Sudirman (which is masih Jakarta Selatan) saya harus muter lewat Bundaran HI (which is Jakarta Pusat).

Pendapatan saya sudah berlipat dari pendapatan pertama saya di ibukota. Kostan saya masih yang 700 ribu. Sudah 2 tahun, dan belum naik. Saya sekarang sekamar berdua Putri. Which is, 700 ribu dibagi berdua. Jauh lebih murah.

Saya masih rajin Jalan jalan. Masih berburu tiket promo. Masih berburu diskonan untuk belanja buku belanja baju. Lagi aktif aktifnya ikut kelas Akademi Berbagi.

Saya bahagia karena saya selalu ada kesibukan. Saya senang karena temen superjuangan saya, Jen pun demikian. Seperti saya yang sedang menjajal mimpi jalan jalan, Jen juga. Ia sedang menggapai mimpi mimpinya. Meski untuk itu, intesitas kita bertemu, duduk makan bareng jadi jarang sekali.

Eh iya, buat kamu yang saat ini sedang berada di Jakarta, atau berniat hidup di Jakarta seperti saya. Saya berbagi sedikit tips ya;

1. Kosan – Kantor jangan lewat jalan besar.
2. Jangan sok sok-an nongkrong after office hour di segitiga emas Jakarta (Sudirman-Thamrin-Gatsu) apalagi setelah hujan. apalagi hari Jumat. Jangan.
3. Sekali sekali naik ojek, bajaj, taksi. Biar tau jalan lain selain rute angkot/kopaja :’)))
4. Having trip 2 minggu sekali keluar Jakarta.
5. Jakarta segala ada. Ubek ubek tempat hunting buku, hunting baju dan acara seru.

At the end, Last but not least, Saya masih ingin berkeliling Indonesia lewat sini, titik 0 nya menjelajah Indonesia, Jakarta.

NB. Suatu hari, pernyatan saya diatas mungkin akan jadi bumerang buat saya ketika nanti, saya ketemu sama pujaan hati yang menawarkan kebahagiaan diluar kota Jakarta. ihihi.

12 thoughts on “Titik 0 Indonesia, Jakarta.

  1. liamarta

    Aku setuju dengan semua yang kamu bilang itu, Isni. Gak enaknya tinggal di Jakarta ya itu : macetnya, ruwetnya, banyaknya kasus2 kejahatan, dan semua yang jelek2 tentang Jakarta. Tapi di sisi lain, Jakarta menawarkan banyak kesempatan untuk kita mengembangkan diri. Hidup di sana itu dinamis, terus bergerak maju (eh ini tergantung pilihan juga sih hihihi). Beda dengan kota kecil yang cenderung stuck di satu titik, banyak keterbatasan ini itu, walaupun di sisi lain hidup di kota kecil menawarkan banyak kenyamanan yang gak didapatkan di Jakarta. Tapi yaaa.. semua ada plus minusnya yah. Hehehe.

    Tulisan yang bagus, me likey! 🙂

    Reply
    1. alaniadita Post author

      Ini di bahas lagi ya, Kak Li. hehe. Abisnya, Jakarta awesome banget sih buat muda mudi semacam kita ini. Tapi untuk memulai sesuatu yang baru (baca : menikah) pilihan kak Lia diluar Jakarta udah tepat sih. Gimanapun juga, Jakarta not for living, just only for surviving. Sebener benernya kenyamanan ya di rumah sendiri. bersama keluarga kecil ya, pastinya 🙂

      Ah, terimakasih. Doakan Istiqomah seperti tulisan di blog-mu, kak! 🙂

      Reply
  2. aras trika H

    ikut merasakan apa yang di rasakan nia, susah senang semua demi impian ga selamanya jakarta itu neraka bagi pekerja….. semoga tahun – tahun berikutnya selalu memberikan pelajaran yang indah tuk didapat dan hari demi hari yang dijalani memberikan kenangan yang sulit tuk di lupakan…. 😀
    salam buat jehan dan teman” PDC yang sering bertmu nia di mana pun berada…. 😀 semoga kelak dapat menggenggam jakarta 😀
    kalo mau kumpul” kabarin ya… baru punya contact anisa rizka nih yang domisili jakarta dari teman PDC mu

    Reply
    1. alaniadita Post author

      Hi Aras! Apa kabarmu?
      Iya, Amin! Jakarta terlalu unforgettable, ras. 🙂
      Selain Jehan, aku ketemu Linda, Lutfie, Nisa, Taufik yang sekarang pada domisili di Jakarta. Sesekali janjian juga sama Fahmy dan beberapa anak ADP yang seangkatan sama kita.

      Aras sekarang posisi dimana? Jakarta? Ayo kita bertukar kontak dan rencanain kumpul hore. Silaturahmi mah ga boleh putus, dong!

      Reply
  3. imaduddin

    dulu saya bersumpah untuk tidak tinggal dijakarta,panas, macet, polusi, banjir,kriminal dll sudah dilem dalam otak, kota pilihan buat nyari nafkah adalah solo, semarang, yogya n malang, n ternyata engingeng…..tak satupun perusahaan yang ada dikota tersebut menerima saya, malah jakarta lah yg menyambut saya. 3 bulan pertama stress badan yg sudah cungkring makin mengering, bulan2 selanjutnya sdh mulai bisa menikmati indahnya jakarta, terlebih setelah bertemu dengan komunitas jalan2. setelah dirasa, hidup dijakarta itu enak loh, pergi kapanpun dimanapun g usah takut dg moda transportasi, semua ada bahkan sampe gang skalipun, apapun bisa dijadikan uang n mau apapun perlu uang.

    Reply
    1. alaniadita Post author

      Terimakasih sudah mampir, Mas Zaki!
      Haha, Jakarta selalu membuka tangannya untuk para pencari kerja, ya mas 😐
      Iya, kalau ada yang mau nyoba get lost, Jakarta tempat yang tepat. ihihi *senyum licik*

      Bertahan di Jakarta ya, Mas Zaki.
      Semoga lelahnya dibales dengan rezeki berkah :’)

      Reply
  4. Pingback: Downy Daring; untuk Wangi sepanjang hari | alaniadita

  5. Pingback: Tentang kemakan omongan sendiri. | alaniadita

Leave a comment