“Ko sih enak, nyot. Punya keluarga bahagia. Papa, mama, kakak dan adik adik ko selalu ada. Keluarga ko harmonis.” Sahabat saya berbicara seperti ini sambil menahan amarah seraya menunjuk nunjuk muka saya. Saat itu, saya anggap angin lalu. Malah dalam hati sempet ngedumel, “kalau kondisi nya bisa dibalik, saya juga ingin kali seperti dia. Bisa fokus kuliah. Aktif organisasi. Ga seperti saya yang harus kerja kuliah begini.”
—
Siang tadi, saya ga sengaja baca berita tentang seorang anak umur belasan tahun yang bunuh diri karena berasal dari keluarga yang broken home. Diceritakan disitu, bahwa ayah dan ibunya bercerai, kemudian saling menikah lagi. Ia merasa terabaikan. Sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri didalam lemari.
Yes, namanya Aga. Berita lengkapnya bisa baca disini.
—
Setelah baca berita itu, saya tergerak untuk menghubungi salah satu sahabat baik saya. Kalimat pertama saya adalah, “Gimana sih rasanya berada ditengah keluarga broken home?” Dijawab secara singkat, “Rasanya ga lengkap lah. Sebenernya lebih ke ngiri sih.” Yang kemudian, dia bercerita mengenai kehidupan masa kecilnya.
“Punya keluarga yang utuh itu adalah anugerah terindah yang ga tergantika. Sejak mengenal mama dan papa, hari hari yang aku temui adalah gimana mereka berantem. Ayahku seorang penjudi berat. Ia akan baik pada mama dan aku jika menang judi. Namun, jika engga, semua dihantam. Sampai akhirnya mama tidak tahan dan memilih keluar kota. Aku diurus oleh adiknya mama. Sampai akhirnya, papa mengambil aku dari tante dan ngerasa mampu mengurus aku.
Padahal setelah itu, hidupku luntang lantung. Kemana dia pergi, aku ikut. Aku dijadikan sumber uangnya, karena setiap orang yang melihatku merasa kasihan. Setiap aku dikasih uang, uang itu harus aku berikan kepada papa. Ga jarang, aku sengaja dipakai-kan baju compang camping agar orang iba dan memberikan uang. Selanjutnya, ya uang tersebut aku berikan lagi kepada papa.
Sampai akhirnya keluarga papa merasa kasihan, dan memasukkan aku ke asrama. Dimana, disana, tak pernah ada mama yang menemani aku ambil raport seperti temen temen lainnya. Ditahun ketiga, aku bermasalah karena menunggak biaya asrama. Semua karena papa menilep uang asramaku. Sampailah berita ini kepada mama, yang bikin mama akhirnya menjemput dan membawa aku bersamanya dengan satu kesepakatan. Menukar aku dengan rumah yang mama cicil dari dulu untuk papa.
Jadi sebenernya, aku kehilangan kasih sayang orang tua. Kadang orang bisa makan bareng satu keluarga, aku ga bisa. Kadang anak lain bisa cerita sama mama dan papa, aku ga bisa. Kadang aku iri liat kamu punya papa dan mama yang care sama kamu, yang bisa kasih nasihat dan motivasi. Aku ga pernah dapetin itu. Semua motivasi aku dapet dari luar dan cari sendiri. “
Sampai disitu, saya berjalan lunglai, bersiap mengambil wudhu untuk sholat ashar. Yang kemudian saya lakukan dalam kubikel di toilet adalah menangis. Yes, im crying at the time. Saya ga nyangka sahabat saya segitunya melalui masa kecilnya. Sahabat yang saya sempat men-judge nya macam macam karena keegoisannya sesekali waktu.
Saya sholat masih dengan pikiran kemana mana. Yang jelas, saya merasa bangga nya luar biasa pada orang tua saya. Sungguh, saya tahu, membangun dan mengarungi rumah tangga itu tidak mudah. Sangat tidak mudah.
Long short story, si sahabat saya sudah baikan sama ayahnya. Ia hidup bahagia dan menyenangkan bersama ibunya. Dia tampak senang dan berbahagia meski tidak ‘utuh’.
Kembali selepas sholat, saya googling tiket pulang kerumah. Rasanya ingin berlari masuk rumah kemudian memeluk mama dan papa seraya bilang, “terimakasih untuk membesarkan saya dikeluarga yang menyenangkan seperti ini.” Pastinya, kalau saya pulang, itu ga akan sampai keomongan sik 😦
Sakinah Mawaddah Warahmah yang sering didoakan orang orang pada acara resepsi pernikahan ternyata ga sesimple itu. Ada beban berat yang dipikul didalamnya. Mama papa saya juga sering berantem. Tapi menyikapi setiap masalah dengan tidak berantem didepan kami anak anaknya, adalah langkah yang tepat. Kami nyaris ga pernah tahu kapan mereka berantem.
25 tahun mengarungi rumah tangga, pasti ada rasa bosan yang mereka rasakan. Tapi mereka bisa mengatasi itu dengan baik.
Saya pernah baca, keberhasilan ayah dalam mendidik dalam keluarga bisa dilihat dari keinginan sang anak perempuan yang ingin memiliki pendamping seperti ayahnya. And he did it well. Kalau ditanya, pengen suami seperti apa, aku nyaris selalu menyebutkan, ingin seperti papa. 🙂
Seperti papa yang menemani masa kecil saya dengan dongeng dongeng sebelum tidur. Yang menemani saya ketika remaja dengan mengantarkan kemanapun saya pergi. Yang tetap memberikan “morning call” nya untuk saya meski saya sudah besar dan sudah bekerja.
Kita hidup dimana, kalau salah diganti. Bukan diperbaiki.
Semoga untuk yang satu ini, kita katro dikit gpp ya. Belajar memperbaiki. Bukan mengganti.
Dan buat yang tumbuh ditengah keluarga broken home. Percayalah bahwa tuhan menguji hambaNya sesuai dengan kemampuannya. Kalian mampu. 🙂
Jangan jadikan ‘broken home’ sebagai alasan untuk tidak berkembang, introvert, tidak bisa berkomunikasi. Berkembanglah menjadi anak yang luar biasa.
Hidup cuma sekali, hiduplah dengan luar biasa. Jangan sia siakan lagi. Kita ga tau pada fase alur hidup kapan kita dipanggil.
Terimakasih sudah menganugerahkan keluarga baik ini ya Allah. Tempat paling nyaman untuk saya ‘Pulang’.
*Ditulis, pukul 23.50 setelah pulang lembur pukul 21.30*
:’)
mama n papa bersyukur sama Allah..dikasih anugerah anak ke dua perempuan yang merupakan Nur (cahaya) dalam keluarga yang selalu sayang dan perhatian sama ortu, kakak dan adik dan juga sama keponakan..
:”)