Note about you; Papa.

*Backsound : Yang terbaik bagimu – Ada Band ft Gita Gutawa*

Seseorang pernah datang dan bertanya, “Kamu pengen punya calon/suami yang seperti apa?” pertanyaan yang biasanya dijadiin basa basi ditengah obrolan. “Yang seperti papa.” jawabku pendek. “Yang strata pendidikan-nya dan kemapanan finansialnya seperti papa juga?” tanyanya menohok.

Papaku lebih dari sekedar pendidikannya dan kemapanan finansial. Papaku punya lebih dari itu.

Papaku karyawan Telkom (dulunya) dan saya bangga. Dilingkungan teman teman SD/SMP/SMA pada saya, banyak sekali temen temen sekelas yang ayahnya bekerja di perusahaan yang sama seperti papa, kita sering tenar dengan ‘anak Telkom’, sering ketemu di acara ulang tahun Telkom yang biasanya diadakan setahun sekali. Kita para anak telkom ini suka kompakan pake baju seragam yang dibagikan buat orang tua kita.

Saya lahir memiliki mama yang full time di rumah. Merawat kami. Ada kakak yang berumur 3 tahun diatas saya. Diumur saya 7 tahun, papa mama memberikan saya adik laki laki, disusul setahun kemudian, lahir kembali adik laki laki. Papa bekerja sendirian menjadi tulang punggung keluarga. Mama serius menjadi pendamping kami dirumah. Mama akan menjadi pelindung nomor satu di rumah, Beliau lah yang tahu setiap perubahan kami di rumah. Beliau menjadi orang pertama yang akan datang ke sekolah ketika kami ditimpa masalah. Papa? Setelah seharian kerja, akan setia mengantarkan kami, anak anaknya jika butuh buku sekolah, isi ulang printer, beli sepatu, periksa ke dokter. Semuanya dilakukannya setelah urusan pekerjaannya beres.

Kata mama, dari ke empat anaknya, sayalah satu satunya anak yang ketika lahiran didampingi papa. Itu kenapa, saya dekat sekali dengan beliau. Cuma saya, yang dari TK sampe SMA diantar setiap pagi oleh papa. Diantara saudara saudara, saya yang paling aktif berorganisasi, dan selalu diantar oleh papa. Pernah suatu waktu di masa SMA, saya belum sempat mengerjakan tugas dijam pelajaran akhir, saya meminta papa untuk menjemput saya untuk pulang di Jam istirahat. Kemudian papa melakukannya untuk saya. hihihi.

Papa taat beribadah. Dari kecil, hidupnya kebanyakan dihabiskan di mesjid dan mushola sekitaran rumahnya. Tapi beliau ga pernah memaksa kami, anak anak perempuannya untuk menutup aurat. Kakak saya memutuskan berhijab sedari SMP, yang kebetulan doski SMP di Aceh yang mewajibkan siswi nya untuk menutup aurat. 2 tahun, iya menyinggung2 saya untuk mengikuti jejaknya menutup aurat. Menjelang masuk SMA, saya utarakan niat itu dihadapan papa mama.

“Nurul mau pake jilbab pas SMA.”

“Serius dek? Ih, nanti kamu ga bisa pake rok pendek lucu lucu loh.” Mama menimpali. Iya, mama saya gaul abis. >,<

“Anaknya uda baik mau berjilbab, kok ya di halang halangi..”  Papa menengahi

Hari pertama pendaftaran masuk SMA, saya berjilbab. Papa yang menemani saya, tersenyum. Kebetulan, dihari pendaftaran itu, mama dan adik adik sedang menemani kakak pendaftaran di Bandung.

Image

Hari pertama pake Jilbab, 9 tahun yll. Orang pertama yang diajak foto box (era pada jamannya) ya, papa. 🙂

Menjadi karyawan salah satu perusahaan besar, tidak menjamin kemapanan finansial dikeluarga kami. Selain menafkahi kami, papa juga menyekolahkan adik adiknya. Sehingga, kehidupan kami juga tak selalu bermewah mewahan. Rumah kami kecil, mobil yang kami punya juga sederhana. Mobil bekas. Tapi ditengah kesederhanaan, papa berhasil mengajari saya, bahwa hidup itu bukan melulu soal materi. Bukan tentang kepunyaan akan suatu hal. Hidup itu menikmati. Papa yang saat itu kerja di bagian logistik, memiliki wewenang untuk mengatur peminjaman mobil kantor. Ketika nganggur, beliau akan membawa pulang, dan mengajak kami untuk menikmatinya. “Mungkin sekarang kita belum bisa mobil bagus enak gini, tapi yang penting kita uda pernah ngerasain kan naik mobil bagus..” tuturnya selalu.

Papa yang baik, tidak pernah menuntut mama untuk memasakinya tiap hari. Untuk melihat rumah rapi tiap hari. Seringkali, beliau pulang makan siang dengan membeli makanan kesukaan mama. Sesekali, baliau juga membantu pekerjaan rumah untuk meringankan pekerjaan mama. Setiap tahun, ia selalu mengecilkan baju sekolah kami yang seringkali kebesaran.

Papa yang baik, pernah mengorbankan 1 tiket pesawatnya untuk perjalanan dinas menjadi 3 tiket ekonomi kapal laut, semata agar saya dan kakak saya bisa mudik pulang ke rumah. Nyatanya, kami kehabisan kasur, sehingga harus tidur menggelepar dibawah. Ditengah keluhan akan panas, pengap dan lain lain. Papa dengan sabarnya, ngelus ngelus kepala saya. 😥 Ceritanya ada disini, tapi maap, itu tulisan masih alay banget. :))))

Papa yang rajin beribadah. Memberi contoh bagaimana anak laki laki sudah seharusnya sholat di mesjid. Bagaimana puasa senin kamis. Khatam Al Quran ketika Ramadhan. Yang akhirnya kebiasaan kebiasaan itu nular ke anak anaknya. Saya mulai senin kamis sedari SMA sampai saat ini. Menular ke adik adik. Sampai terakhir saya pulang ke rumah, papa bercerita, “Saya terharu ketika Dek Ama, Adik bungsu saya, membangunkan papa untuk sahur dan mengingatkan untuk senin kamis.” Padahal, apapun yang kami kerjakan sampai hari ini, itu karena apa yang beliau kerjakan dan kami lihat. Itu karena, pengajaran beliau yang disampaikan secara halus sekali. Memulainya pada diri sendiri.

Ditengah kehidupan yang sederhana ini, papa bisa mengajak mama naik haji. Iya, naik haji. Jadi di kantor papa, ada program naik haji gratis bagi karyawan yang lolos admin dan test segala macam. Setelah bertahun tahun nyoba dan gagal, di tahun terakhir program naik haji ini ada, papa berhasil membawa mama turut serta ke tanah suci. Papa lagi lagi ngajarin bahwa, bahagia itu ga melulu tentang materi. Bahagia itu ada karena kita usaha. Karena kita yakin rezeki itu akan selalu ada. :’)

Ketika saya mulai kuliah, saya tahu papa tampak keberatan membiayai kedua anaknya yang sedang kuliah bersamaan. Saya ingat betul, beliau pernah menransfer Rp. 40.000,- yang bisa diambil di ATM BNI pecahan 20.000,- an. Rp. 40.000,- itu untuk berdua saya dan kakak saya. Saya tahu, saat itu mungkin beliau juga sudah ga punya lagi pegangan uang, tapi demi kami, ditransfer segitu segitunya juga. Setiap pulang liburan kuliah, saya selalu kembali ke Bandung dengan koper penuh. Bukan penuh karena baju, tapi sembako. Papa mama membekali saya dengan sembako yang bisa dibeli di Koperasi dengan sistem potong gaji. Dari pembalut sampe minyak goreng selalu memenuhi koper saya. Dulu, saya nyaris berputus asa dan bersedih hati. Tapi hari ini, saya bersyukur, nyaris putus asa dan sedih hati saya saat itu membuat saya jadi jauh lebih kuat dari apa yang saya yakini dari diri saya. Mungkin ada benarnya, kita harus bener bener jatuh sampai titik 0, biar kita bisa kembali melangkah pelan pelan hingga kembali ke puncak.

Setelah memutuskan untuk pensiun, papa mengajak kami berlibur ke Bali. Sebuah tempat yang dulunya, hanya menjadi mimpi bagi kami anak anaknya. Kami bersenang senang. Saya sempat berbisik pada si kakak, “Papa menjalani tugasnya dengan sangat baik. Beliau memimpin, mengayomi, melindungi keluarga kita ya, Teh. Setelah mama diajak naik haji, sekarang kita diajak liburan sesenang ini.”

Apa yang papa lakukan sungguh jauh lebih besar dan lebih mulia dari tudingan “strata pendidikan” dan “kemapanan finansial”. Papa mengajarkan yang lebih daripada itu.

ImageSelamat ulang tahun! Terimakasih sudah memberikan rasa aman, nyaman, bahagia hidup ditengah keluarga ini, dear Papa. Memberikan banyak petuah, pengalaman dan jutaan doa yang selalu papa curahkan pada kami, anak anakmu. — Ulang tahun ke-53 di 30 Mei 2014 🙂

“Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya. Ku terus berjanji, tak kan khianati pintanya..

Ayah dengarlah, betapa sesungguhnya ku mencintaimu. kan kubuktikan, ku kan penuhi maumu :’)” — Yang terbaik Bagimu. Ada Band ft Gita Gutawa.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s