Jelas saja silaturahmi kesana kemari. Engga yang offline, engga ya online. Hari lebaran hari dimana bertemu kembali saudara saudara yang lama ga ketemu, dan jadi ajang nunduk gagdget paling syahdu karena saling menghubungi untuk “dimulai dari angka 0 yhaa”.
Seringkali kami berlebaran dengan keluarga inti tanpa bertemu saudara. Namanya juga perantauan. Tapi sekalinya berlebaran di kampung, baik kampung Papa di Malang atau kampung Mama di Bandung/Garut/Tasik jadi supersibuk karena kapan lagi kumpul kumpul. Dimulai dari nyekar ke makam nenek & kakek. Makan bareng di setiap rumah saudara yang didatengi. Foto-foto. Bagi-bagi THR.
Yang sering terjadi ketika lebaran adalah moment dimana mama dan papa menjadi translator. Kalo ke kampung papa, kami anak anaknya loading orang orang ngomong pake bahasa Jawa, dan tentu saja kami ndak ada yang ngerti. Begitu juga kalau sedang ke kampung mama, semua orang ngomong bahasa sunda. Disinilah mama dan papa tiba-tiba jadi translator dadakan.

Bersama kakek berusia 97 tahun dan kakang berusia 5 tahun :’)
Repotnya ya, kalau kami ditinggal di ruang tamu/ruang keluarga sementara papa mama sibuk diruangan yang lain. Jadi otomatis ngangguk nganngguk, senyam senyum, cengengesan karena duh, ini diajak ngomong apa kok ya ga ngerti.
Padahal tahun ini kami berniat lebaran di kampungnya Papa mengingat salah satu adik sudah bekerja, bisa diajak patungan untuk akomodasi dan transportasi. Namun sepertinya Allah belum ridho.
Semoga nanti, masih rezekinya kami untuk roadshow Jawa timur naik kendaraan sendiri dari Jakarta. Dengan keadaan yang jauh lebih baik dan pula dengan rezeki yang lebih baik.
Meski tahun ini akan tanpa tatap muka, semoga lebaran akan tetap terasa bermakna.
Semangat ya, kita!
Aamiin. Didoakan.